Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, Erma Suryani Ranik mengusulkan agar pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga Malaysia diserahkan ke Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. <p style="text-align: justify;">"Pertimbangan saya, karena 70 persen daerah perbatasan itu merupakan daerah tertinggal. Jika fokus maka akan mudah urusannya, terutama dalam koordinasi pengelolaan," kata Erma Suryani Ranik, saat dihubungi dari Pontianak, Kamis (17/02/2011). <br /><br />Dia mengatakan, selama ini pengelolaan kawasan perbatasan terkesan berjalan sendiri, pembentukan Badan Pengelola Perbatasan juga tidak ada perkembangan yang signifikan. <br /><br />"Kalau sekarang ini, tidak jelas. Ketika kita meminta penjelasan kepada Kementerian Dalam Negeri, sudah terlalu banyak yang diurus lembaga itu," kata anggota DPD RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat itu. <br /><br />Pernyataannya tersebut terkait dengan pembangunan ekonomi masyarakat dan infrastruktur jalan di daerah perbatasan Indonesia – Malaysia di wilayah Kalbar. <br /><br />Menurut dia, jika kewenangan itu diserahkan kepada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, maka pengelolaan tersebut akan menjadi fokus dan saling terkait, dan upaya tersebut merupakan solusi untuk mengatasi persoalan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. <br /><br />Dia menambahkan, selama ini semua orang sudah mengerti bahwa pemerintah tidak bisa memberikan jaminan yang baik kepada rakyat. "Mereka (rakyat) berjuang sendiri. Rakyat membangun perekonomian dengan sendirinya. Karena kalau pemerintah bisa, pasti tak begitu," katanya. <br /><br />Dia mencontohkan, jalan Pontianak – Sintang yang merupakan jalan negara, namun selama tiga tahun kondisi jalan tersebut masih tetap rusak parah. <br /><br />Menurut anggota Komite IV DPD RI Bidang APBN, Pajak dan Koperasi itu, selama ini ekonomi masyarakat perbatasan tumbuh dengan sendirinya tanpa keterlibatan secara langsung pemerintah. Masyarakat menjual hasil pertanian sendiri ke negara tetangga, begitu pula untuk belanja bahan kebutuhan hidup. <br /><br />Akses jalan yang buruk di wilayah perbatasan, mengakibatkan masyarakat lebih senang belanja dan berjualan ke negara tetangga Malaysia meski harus melintasi perbukitan. <br /><br />"Ada satu bukit di desa Jasa (Sintang) yang separuh masuk wilayah Indonesia dan Malaysia. Bagian yang berada di wilayah Indonesia masih berupa hutan semak dan akan capek kalau didaki, tetapi ketika sampai di bagian yang masuk wilayah Malaysia, jalannya sudah mulus dan gampang dilalui," kata Wakil Ketua Panitia Akuntabilitas Publik DPD RI itu. <br /><br /><strong>Kartu pengenal ganda </strong><br /><br />Sementara di desa di Seriang, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu ada warga yang memiliki dua kartu pengenal kewarganegaraan yakni berupa kartu tanda penduduk (Indonesia) dan tanpa pengenal kewarganegaraan Malaysia. <br /><br />"Sebenarnya adanya kartu pengenal semacam ID itu hanya untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka agar lebih mudah ke Malaysia," katanya. <br /><br />Dia melanjutkan, selama ini pemerintah sering berwacana. Tetapi ketika rakyat meminta realisasi, pemerintah "kelimpungan" (bingung) dengan bermacam-macam alasan. <br /><br />"Jadi menurut saya satu saja, bentuk kementerian perbatasan yang tergabung dengan KPDT," kata mantan aktivis lingkungan itu. <strong>(phs/Ant)</strong></p>