Para PETI (Penambang Emas Tanpa Izin) kini kebingungan. Ditengah rencana penertiban oleh pemerintah, mereka juga kesulitan mencari pekerjaan alternatif pengganti bagi aktifitas yang rata-rata sudah dijalani sekian tahun. Pemerintah hingga kini juga tak memberikan jalan keluar bagi pekerjaan apa yang harus ditekuni mereka setelah ditertibkan dikemudian hari. <p style="text-align: justify;">Beberapa pria legam sedang mendulang tumpukan pasir di kolam penampung ‘jatah’ (istilah untuk penampung pasir yang mengandung emas yang terjaring karpet penangkap emas-red). Saat kalimantan-news mendatangi mereka beberapa pekan lalu untuk mengambil gambar, di kawasan Sungai Daun yang tak jauh dari sungai Kebiau Kecamatan Sintang, para pekerja ini pasang tampang garang.<br /><br />Mereka menolak di foto, bukan atas alasan takut ketahuan aparat, namun ada pamali (pantang-red) yang dipercayai sebagian besar pekerja PETI, bahwa kalau lokasi kerja mereka di foto bisa mendatangkan sueh (sial-red). Terlepas percaya atau tidak, demikianlah mereka menyatakan kepada kalimantan-news.<br /><br />“Kerja emas ini kerja barang gaib, banyak pantangnya, jadi tak boleh sembarangan,” ujar pria 48 tahun yang mengaku bernama Maman saat ditanyai sebab penolakan tersebut. Walhasil tak satu gambarpun yang berhasil diabadikan di lokasi itu.(Tapi mereka tidak tahu jika browsing di internet-pun ada)<br /><br />Maman adalah ayah dari 5 anak yang tiga diantaranya di bangku SD, dan dua diantaranya putus sekolah. Dua anaknya tersebut kini memilih membantu sang ayah menjadi penambang emas 3 tahun terakhir. <br /><br />“Mereka lebih senang bekerja ketimbang sekolah,” timpal Maman.<br /><br />Maman sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk mengoperasikan jek sungai, sebelumnya pernah merintis usaha PETI sejak puluhan tahun lalu. <br /><br />“Persisnya tahun berapa sudah lupa,” timpalnya.<br /><br />Pertama kali bekerja sebagai penambang, Ia berkuli pada salah seoarang kerabat, menggunakan sistem “parit batang”. Caranya dengan membuat lubang yang umumnya berbentuk bujur sangkar, dengan membuat parit disalah satu sisi yang dipasangi karpet penjerat emas. Parit batang ini kerap hanya menggunakan mesin pompa air berkekuatan sedang.<br /><br />Beberapa tahun kemudian, Ia dan saudaranya patungan modal membeli satu set mesin diesel yang terdiri dari satu mesin penyedot tanah dan air dari lubang galian PETI, dan satu mesin lagi untuk mesin penyemprot air. Metode itu sekitar tahun 1990an menurut Maman, dikenal para pekerja dengan istilah Lubang. <br /><br />“Tak heran kalau kedalamannya kadang sampai 20-an meter. Bahkan bukan cerita aneh kalau ada pekerja yang mati tertimpa tanah, atau terseret longsoran tanah,” tuturnya.<br /><br />Meski bertaruh nyawa, namun harga emas yang terus merangkak naik membuat banyak orang kemudian berbondong-bondong banting stir dengan membuka lubang-lubang PETI baru. Bahkan tak jarang ada beberapa tauke PETI yang mengoperasikan mesin diesel 6 silinder untuk mobil dilubang-lubang PETI mereka. <br /><br />“Awal 1990, harga emas masih Rp 20 ribu per gram, satu onsnya sekitar 4 jutaan,” kisahnya.<br /><br />Aktivitas PETI semakin marak saat Indonesia dilanda krisis pada 1997-1998, harga emas melonjak hingga ratusan ribu per gramnya. Harga yang melonjak drastis membuat para penambang semakin bersemangat membuka lokasi baru. Toh pemerintah dan <br /><br />aparat saat itu hanya diam dan membiarkan. Tak ada larangan tegas apalagi pendidikan berwawasan lingkungan.<br /><br />Sekitar awal abad 21, metode PETI ditengah keterbatasan lahan galianpun berpindah ke sungai, yang lebih dikenal dengan istilah nge-jek—kemungkinan karena metode ini menggunakan alat semacam bajak (baji-red).<br /><br />Wal hasil tingkat pencemaran sungaipun kian parah sejak tahun 2000an. bahkan beberapa lembaga resmi pernah merilis bahwa kadar mercury air sungai di timur kalbar sudah jauh diambang batas yang diperkenankan.<br /><br />Wacana penertiban PETI baru terdengar setelah kerusakan parah itu. Namun hingga kini tak kunjung direalisasikan. Pemerintah bahkan tak menyiapkan solusi bagi para pekerja PETI. Meski sebelumnya sempat diwacanakan bakal dialihkan ke sektor perkebunan, ditengah gencarnya produksi dan terus melambungnya harga karet. Namun wacana itu juga tak diwujutkan.<br /><br />“Sebenarnya para pekerja PETI saya yakin tak masalah kalau ditertibkan, tapi solusinya apa? Apa pemerintah sudah siap menanggung makan anak dan istri kami,” ujar Maman setengah berkeluh.<br /><br />Ia memperkirakan, kalau pemerintah merealisasikan rencana penertiban, bakal banyak keluarga penambang PETI yang kesulitan pangan. <br /><br />“Apalagi banyak dari kami yang tak punya bekal keterampilan lain selain bekerja sebagai penambang. Kalau disuruh stop, anak-anak kami bisa terancam putus sekolah,” tuturnya.<br /><br />Maman berharap agar sebelum lakukan penertiban PETI, pemerintah juga bisa membantu mereka memikirkan alternatif peralihan mata pencaharian. <br /><br />“Kami Cuma perlu menyambung hidup, menyekolahkan anak dan hidup tenang tak dikejar utang. Kami ndak ngerti main proyek seperti pemerintah, jadi berikan solusi dulu sebelum ditertibkan.” pungkasnya. (<strong>phs</strong>)</p>