Kasus pengambilan kayu di hutan desa Mentajoi yang digunakan untuk membuat peti mati pada November tahun lalu membuat polrest Sintang di praperadilankan oleh pengacara asal Pontianak Tambok Bow, SH dan patner. <p style="text-align: justify;">“Saya melihat penanganan dan penahanan tersangka pada kasus peti mati yang membawa 4 tersangka ini cacat hukum. Oleh karena itu saya melakukan praperadilan dan bila hakim mengabulkan praperadilan ini maka mereka bisa dibebaskan demi hukum,”ungkap Tambok Bow, kuasa hukum tiga tersangka kasus peti mati kepada Kalimantan-news di Sintang , Senin (07/02/2011)<br />. <br />Dijelaskan terkait alasannya menyebut penahanan tersangka yang dinilainya cacat hukum. Menurutnya sesuai dengan pasal yang didakwakan kepada 4 tersangka mengacu pada pasal 78 ayat 5 UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, maka ancaman hukum bagi keempat tersangka adalah hukuman diatas 10 tahun dan denda sebesar Rp 5 milyar. Berdasarkan pada UU tersebut, maka pada pasal 56 KUHAP disebutkan bahwa terhadap tersangka yang mendapatkan ancaman hukuman diatas lima tahun maka wajib bagi pihak pemeriksa menyediakan penasehat hukum. Hal inilah yang tidak pernah dilakukan oleh penyidik dalam hal ini polres Sintang. <br /><br />“Menurut saya penggunaan pasal ini sangat mengada-ada. Sebab sampai sekarang kasusnya sampai dimana, tahapannya seperti apa dan penambahan waktu penahanan yang dilakukan oleh pihak pengadilan juga harus setelah ada putusan. Ini kan jelas menyalahi atura hukum yang ada,”tegasnya. <br /><br />Menurutnya penambahan waktu penahanan mestinya dilakukan oleh penyidik/polisi selama 20 hari. Bila berkas belum lengkap maka untuk keperluan itu ditambahkan lagi selama 40 hari oleh pihak kejaksanaan. Kemudian bila dianggap juga belum memenuhi maka penahanan bisa dilakukan oleh pengadilan selama 30 hari. Sedangkan penambahan waktu penahanan yang diberlakukan pada 4 tersangka kasus ini menurutnya sudah masuk penahanan 30 hari kedua. <br /><br />“Bayangkan saja ini sudah terhitung 4 bulan dari sejak tersangka dijemput dari desanya. Tahapan masalahnya sudah seperti apa kita tidak pernah tahu. Dan hal inilah yang membuat saya mengajukan yudicial complain kepada pihak pengadilan terhadap Kapolda Kalbar, Cq Kapolres Sintang,”tegasnya. <br /><br />Tambok juga mengatakan bahwa meski dirinya diberikan kuasa untuk menjadi penasehat hukum terhadap 3 tersangka yakni Ajung, Adong dan Brahim pada tanggal 17 Desember dan pemeriksaan telah dilakukan oleh penyidik, maka dalam permintaan tambahan keterangan dari tersangka harus pula dihadirkan dirinya sebagai pendamping. Bahkan anehnya menurutnya terhitung sejak dirinya ditunjuk sebagai lawyer ketiga tersangka, ia tak pernah mendapatkan pemberitahuan terkait pemeriksaan klienya. <br /><br /> “Kasus mempra-peradilankan aparat kepolisian dalam hal ini rupanya di Sintang baru kali ini terjadi. Ini terbukti dengan nomor perkara yang saya ajukan ini berada pada nomor urut 1. Buat saya karena masalah ini melibatkan tersangka dari warga yang tidak mengerti hukum, kemudian pihak penyidik sepertinya menilai tidak mau terlalu mengikuti ketentuan yang ada, maka saya harus membelanya,”ujarnya. <br /><br />Ia pun memberikan analisa kejadian yang menimpa klienya yang membuatnya mengajukan praperadilan terhadpa polres ke PN Sintang menjadi bukti bahwa hukum ditanah air masih bersifat “menusuk kebawah tapi mental ke atas”. Artinya hukum itu diperlukan keras pada mereka yang “miskin” dan tidak paham aturan hukum, sedangkan kepada mereka yang “pandai” sebut saja koruptor dan sebangsanya tidak mempan alias mental. Buktinya menurutnya sampai saat ini masih ada kasus hukum yang menjerat koruptor tapi sang koruptor masih sliweran bebas di luar tanpa dikurung dan tidak bisa dieksekusi. <br /><br />“Saya juga melihat bahwa dalam kasus peti mati in, para penegak hukum kita masih feodal,”ucapnya. <br /><br />Seperti diberitakan sebelumnya, pembuatan peti mati ini awalnya menyeret 2 orang tersangka warga desa Mentajoi yakni Adong (31) dan Brahim (33). Namun kemudian setelah kasus ini dikembangkan oleh jajaran Mapolres Sintang, dua tersangka lain pun akhirnya diciduk pula. Masing-masing Obang sang ketua BPD desa Mentajoi dan Ajung, pengusaha asal Nanga Pinoh Melawi yang memberi perintah atau memesan pembuatan peti mati tersebut. <strong>(phs)</strong></p>