JAKARTA, KN — Isu ketimpangan energi kembali mencuat, terutama di kawasan 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan wilayah pedalaman. Akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) dan gas bersubsidi yang seharusnya menjadi hak masyarakat kecil justru dihadapkan dengan berbagai kendala teknis maupun regulasi.
Dalam obrolan singkat dengan Menteri BUMN Erick Thohir, Marwandy, Advokat sekaligus pemerhati kebijakan publik asal Kalimantan Barat, menyampaikan keresahan masyarakat pedalaman. Ia menilai kebijakan penggunaan barcode dan lainnya sebagai syarat pengambilan BBM dan gas subsidi justru menyulitkan warga.
“Masyarakat pedalaman kesusahan dengan aturan terkait barcode dan aturan lainnya dalam mendapatkan BBM dan gas subsidi yang memang menjadi hak mereka. Belum lagi, pembagian kuota yang tidak merata antara lembaga penyalur semakin memperlebar jurang ketimpangan,” ujar Marwandy.
Menurutnya, kebijakan digitalisasi memang baik untuk transparansi, namun harus memperhatikan kondisi nyata masyarakat di pedalaman yang masih terbatas akses internet, infrastruktur, maupun literasi teknologi.
Ketimpangan juga terlihat dari alokasi kuota subsidi. Di beberapa wilayah, lembaga penyalur mendapatkan porsi besar, sementara daerah lain dengan kebutuhan mendesak justru kekurangan. Akibatnya, harga energi di pedalaman kerap melambung di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Erick Thohir sendiri sebelumnya menegaskan bahwa BUMN melalui Pertamina akan terus berupaya memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, tantangan di lapangan terutama di kawasan 3T masih membutuhkan perhatian lebih serius dari pemerintah pusat maupun daerah.
Para pemerhati menilai, jika persoalan ini tidak segera diatasi, masyarakat di kawasan pedalaman akan semakin tertinggal dalam akses energi, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan mereka.














