MUARA TEWEH, KN — Proses penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih Barito Utara masih tertunda hingga hari ini, Kamis, 28 Agustus 2025. Penundaan tersebut terjadi karena masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan beberapa waktu lalu. Situasi ini menimbulkan berbagai reaksi dari pakar hukum dan masyarakat, yang khawatir akan dampaknya terhadap stabilitas hukum dan politik di daerah.
Dr. Aris Irawan, S.H., M.H., CP.M, seorang Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Borneo Tarakan, menyampaikan keprihatinannya terhadap lamanya proses penetapan kepala daerah tersebut. Menurutnya, meskipun secara hukum menunda penetapan adalah bagian dari prosedur yang wajib sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, namun ketidakpastian yang berkepanjangan bisa berdampak serius pada kehidupan demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku.
“Menunda memang prosedur hukum yang sah. Namun jika berlangsung terlalu lama, hal ini bisa memicu ketidakpastian hukum, membuka ruang terjadinya abuse of power, bahkan eigenrichting atau tindakan sepihak oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan,” tegas Dr. Aris.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa keterlambatan penetapan kepala daerah dapat menurunkan legitimasi demokrasi lokal dan menimbulkan keresahan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengarah pada konflik horizontal. “Jika masyarakat merasa hak pilih mereka tidak segera dihargai melalui penetapan pemimpin terpilih, maka bukan tidak mungkin akan muncul rasa frustrasi yang dapat memicu tindakan sepihak,” ujarnya.
Dasar Hukum Penundaan: Kewajiban, Bukan Pilihan
Kewajiban menunggu putusan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada diatur secara eksplisit dalam Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam Pasal 54 PKPU Nomor 9 Tahun 2018, yang menyatakan bahwa penetapan calon terpilih hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan MK atau setelah lewat batas waktu pengajuan sengketa.
Secara teori, Dr. Aris merujuk pada teori kepastian hukum Gustav Radbruch, yang menekankan pentingnya hukum sebagai instrumen untuk menciptakan keteraturan. Ia juga mengutip teori stufenbau Hans Kelsen, di mana norma hukum yang lebih tinggi — dalam hal ini putusan MK yang bersifat final dan mengikat sesuai Pasal 24C UUD 1945 — harus dijadikan landasan utama dalam mengambil keputusan administratif, termasuk oleh KPU.
“Mekanisme ini merupakan bagian dari prinsip checks and balances antara lembaga negara, guna memastikan hasil Pilkada bebas dari intervensi dan penyalahgunaan kewenangan,” tambahnya.
Kekhawatiran Akan Abuse of Power dan Penurunan Kepercayaan
Menurutnya, dalam kekosongan kekuasaan yang terlalu lama, ada potensi pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Ketidakpastian ini juga berisiko menimbulkan abuse of power dalam administrasi pemerintahan, serta memunculkan ketegangan di tengah masyarakat yang semakin gelisah menantikan kejelasan pemimpin mereka.
“Ini bukan hanya soal prosedur hukum, tetapi juga soal menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan pada proses pemilu dan lembaga penyelenggaranya,” tegas Dr. Aris.
Catatan Kelam Pilkada Barito Utara
Penundaan ini juga tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang dan kompleks Pilkada di Barito Utara. Ramli Iram, tokoh masyarakat dari Kecamatan Lahei, mengingatkan bahwa Pilkada di daerah ini telah dua kali mengalami Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan diskualifikasi terhadap kedua pasangan calon sebelumnya.
Diketahui, kedua pasangan calon terdahulu terbukti melakukan praktik politik uang (vote buying) secara terstruktur dan sistematis, dengan nilai yang mencapai puluhan juta rupiah per pemilih. MK pun membatalkan hasil pemilu dan memerintahkan PSU karena tidak tersisa pasangan calon yang sah dalam kontestasi. Ini menjadi preseden penting dalam sejarah demokrasi lokal di Barito Utara.
“Kita tidak boleh membiarkan penundaan ini berlarut-larut. Masyarakat Barito Utara sudah terlalu lelah dengan konflik berkepanjangan dan ketiadaan pemimpin definitif,” ujar Ramli.
Penutup: Harapan pada Putusan MK dan Kepastian Demokrasi
Kini seluruh perhatian tertuju pada Mahkamah Konstitusi. Masyarakat, akademisi, dan pemangku kepentingan berharap agar MK segera mengeluarkan putusan yang adil dan berdasarkan hukum, agar KPU Barito Utara bisa menetapkan pasangan calon terpilih secara sah dan resmi.
“Putusan MK adalah titik akhir dari semua polemik ini. Ia bukan hanya bersifat final dan mengikat secara hukum, tapi juga menjadi simbol harapan terakhir bagi masyarakat Barito Utara akan tegaknya keadilan dan demokrasi,” tutup Dr. Aris.
Sementara masyarakat menanti, para pemimpin diharapkan dapat menunjukkan kebijaksanaan, mengedepankan prinsip-prinsip hukum, dan tidak memanfaatkan kekosongan ini untuk kepentingan sesaat. Karena pada akhirnya, suara rakyat adalah mandat tertinggi dalam demokrasi — dan mandat itu harus ditegakkan, bukan diabaikan.














