Sodaqoh, Hibah, dan Hadiah: Beda Niat, Beda Hukum, Tapi Sama-Sama Mulia
Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas memberi seringkali dianggap sebagai bentuk spontanitas atau sekadar kebaikan sosial. Padahal, dalam Islam, pemberian memiliki nilai hukum dan makna yang cukup mendalam. Islam mengenal tiga jenis pemberian yang berbeda secara tujuan dan hukumnya, yaitu sodaqoh, hibah, dan hadiah. Ketiganya memiliki kemiripan dalam bentuk yakni sama-sama berupa pemberian tanpa imbalan namun berbeda secara niat, tujuan, serta konteks pelaksanaannya.
Memahami perbedaan ini sangat penting, terutama bagi kita sebagai generasi muda yang hidup di tengah interaksi sosial yang semakin kompleks, baik secara langsung maupun digital.
Sodaqoh adalah bentuk pemberian yang dilandasi niat ibadah kepada Allah. Tujuannya bukan untuk mendapat balasan dari manusia, tetapi semata-mata untuk memperoleh pahala dan ridha Allah. Biasanya, sodaqoh diberikan kepada orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin, korban bencana, atau lembaga sosial.
Namun, dalam Islam, sodaqoh tidak terbatas pada materi. Bahkan senyuman, memberi jalan, atau menolong orang lain pun bisa dikategorikan sebagai sodaqoh. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 261 menyebut bahwa orang yang bersedekah di jalan Allah akan mendapat pahala berlipat ganda, layaknya satu biji yang menumbuhkan tujuh cabang, dan pada tiap cabang ada seratus biji lagi.Ini menunjukkan betapa besar keutamaan sodaqoh dalam Islam.
Berbeda dengan sodaqoh, hibah adalah pemberian harta kepada orang lain yang dilakukan saat masih hidup dan tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Hibah biasanya diberikan atas dasar kasih sayang atau hubungan sosial, seperti seorang ayah yang memberikan sebidang tanah kepada anaknya, atau seseorang yang menghibahkan buku-bukunya kepada sahabat. Meskipun tidak wajib seperti zakat, hibah merupakan bentuk kebaikan yang dianjurkan dalam Islam, sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat Nabi. Hibah juga memiliki aturan tersendiri dalam fiqih, salah satunya adalah bahwa hibah yang sudah diserahterimakan tidak boleh ditarik kembali, kecuali dalam kondisi tertentu seperti hibah dari orang tua kepada anak.
Sementara itu, hadiah adalah pemberian yang biasanya berkaitan dengan momen atau prestasi tertentu, seperti ulang tahun, kelulusan, atau sebagai bentuk apresiasi. Hadiah tidak selalu bernilai besar, tetapi memiliki muatan emosional yang tinggi. Memberi hadiah menjadi cara untuk mempererat hubungan antar manusia. Nabi Muhammad ﷺ bahkan sangat menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah, sebagaimana sabda beliau dalam hadis riwayat Bukhari, “Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” Hadiah bisa membangun rasa hormat, cinta, dan memperkuat ukhuwah antar sesama. Namun demikian, niat dalam memberi hadiah juga harus dijaga. Jangan sampai hadiah diberikan dengan tujuan tersembunyi seperti menyogok atau untuk mendapatkan perlakuan khusus, karena itu bisa mengubah statusnya menjadi haram.
Ketiga jenis pemberian ini sodaqoh, hibah, dan hadiah memiliki karakteristik yang berbeda jika dilihat dari niat, penerima, dan situasi pelaksanaannya. Sodaqoh dilakukan karena Allah dan lebih bersifat ibadah, hibah dilandasi kasih sayang dan lebih bersifat sosial, sedangkan hadiah diberikan sebagai bentuk apresiasi atau cinta. Perbedaan ini bukan sekadar teori, tapi juga penting dalam praktik kehidupan, terutama di zaman sekarang yang serba digital. Hari ini, kita bisa bersedekah lewat e-wallet, menghibahkan barang melalui platform donasi barang bekas, atau memberi hadiah digital berupa saldo atau voucher. Namun, dalam semua bentuk pemberian itu, niat dan akad tetap menjadi hal yang utama. Jangan sampai sodaqoh dilakukan karena ingin dipuji, hibah digunakan sebagai sarana paksaan, atau hadiah diberikan sebagai bentuk manipulasi.
Sebagai mahasiswa dan generasi muda Muslim, memahami perbedaan antara sodaqoh, hibah, dan hadiah bukan hanya soal fiqih, tetapi juga soal kesadaran sosial dan spiritual. Ketika kita memberi dengan niat yang benar, apa pun bentuknya, maka pemberian itu menjadi amal yang berpahala. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” Maka niat yang lurus adalah kunci dari segala bentuk kebaikan.
Penulis: Amanda Wijayanti, Jurusan Sistem Informasi STMIK TAZKIA)














