Inpres 10 tahun 2011 Disambut Baik. Jangan Keluarkan IUP di Serawai-Ambalau

oleh
oleh

Penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang termaktub dalam Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2011 mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, Bupati Sintang diminta tidak mengeluarkan izin perkebunan baru. <p style="text-align: justify;">“Dalam inpres itu sudah jelas, ada tiga pengecualian dan perkebunan tidak masuk dalam pengecualian itu, Bupati saya harapkan bisa menaati aturan dengan tidak mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan untuk perusahaan yang ada di Serawai dan Ambalau,” kata A Sutarman, salah seorang warga Serawai, pada kalimantan-news belum lama ini<br /><br />Ia mengatakan meskipun PT SSA dan PT SHP yang saat ini mendapatkan izin lokasi di wilayah Serawai dan Ambalau sedang  melaksanakan proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), namun mereka belum mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) sehingga jika mengacu pada Inpres itu, maka dua perusahaan ini juga mesti masuk dalam daftar moratorium.<br /><br />“Artinya IUP adalah salah satu tahapan izin di sektor perkebunan dan di inpres itu dengan tegas menyebutkan agar semua lembaga yang disebutkan dalam inpres termasuk Bupati untuk mendukung penundaan pemberian izin baru termasuk IUP itu,” ucapnya.<br /><br />Ia meyakinkan bahwa pihaknya bersama sejumlah warga yang menentang masuknya perusahaan perkebunan di Serawai-Ambalau akan siap mengawal pelaksanaan Inpres 10 tahun 2011 di Sintang.<br /><br />“Kalau Inpres itu dilanggar dan masih ada IUP yang keluar paska inpres ini, kami siap melaporkannya ke presiden,” tukasnya.<br /><br />Sebagaimana diketahui, 20 Mei 2011 lalu, presiden menandatangani Inpres nomor 10 tahun 2011 yang berisi moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan Area Penggunaan Lain (APL) sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru yang menjadi lampiran instruksi presiden.<br /><br />Penundaan pemberian izin baru berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut dengan pengecualian diberikan kepada permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin dibidang usahanya masih berlaku dan restorasi ekosistem.<br /><br />“Jadi sudah jelas perkebunan tidak masuk dalam pengecualian, bahkan bila perlu di Serawai-Ambalau dicabut saja izinnya,” kata dia.<br /><br />Ia mengungkapkan, belum mulai operasional saja, sudah muncul konflik dengan masyarakat adat dan bahkan sudah berani memenjarakan masyarakat kami.<br /><br />“Jelas ini bukan sebuah niat baik untuk menyejahterakan masyarakat karena belum apa-apa saja sudah berani memperkarakan masyarakat,” tukasnya.<br /><br />Selain itu menurutnya, perusahaan saat ini masih belum memiliki IUP dan bahkan Amdal mereka masih di proses, tetapi mengapa sudah berani melakukan aktivitas diatas kawasan yang telah diberikan izin.<br /><br />“Mestinya taat aturanlah, tidak boleh ada aktivitas diatas lokasi usaha yang belum ada persetujuan lingkungannya, kalau seperti ini kan sudah menyalahi aturan dan pemerintah mesti tegas,” imbuhnya.<br /><br />Aturan soal tidak boleh ada aktivitas itu kata dia sudah jelas diatur di Undang-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 22.<br /><br />“Dalam UU ini perusahaan yang tidak menaati aturan, Amdalnya bisa tidak dikeluarkan dan ada ancaman sanksi, jadi saya kira pemerintah harus tegas, lakukan pemantauan lapangan, perusahaan yang bekerja meskipun hanya untuk pembibitan sebelum mengantongi dokumen amdal mestinya IUP nya tidak dikeluarkan,” pungkasnya. <strong>(phs)</strong></p>