DPR diharapkan lebih terbuka kepada masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang, terutama terkait regualsi mengenai pemilu. <p style="text-align: justify;">Demikian disampaikan Ahmad Hanafi dari Research dan Study Division Indonesian Parliamentary Center (IPC) dalam Refleksi Akhir Tahun 2010 yang disampaikan kepada pers di Jakarta, Jumat (31/12/2010). <br /><br />Ahmad Hanafi mengatakan komitmen untuk memperbaiki sistem demokrasi mulai ditunjukkan oleh DPR periode 2009-2014 dengan masuknya beberapa perubahan UU yang termasuk dalam paket UU politik dalam Prolegnas 2010, yaitu perubahan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tetang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. <br /><br />Subtansi yang paling penting dalam perubahan UU No. 22 Tahun 2007 dan menuai kontroversi di masyarakat, yaitu tentang pelibatan partai politik baik di KPU, Bawaslu maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. <br /><br />Untuk anggota KPU dan Bawaslu calon dari kalangan partai politik harus mengundurkan diri pada saat mendaftar, sementara untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu semua partai politik yang ada di DPR masing-masing secara otomatis menempatkan seorang wakilnya. <br /><br />Padahal pasal 22E Ayat (4) UUD 1945 mengatur bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Lebih jauh, berdasarkan risalah sidang amandemen UUD 1945, semangat lahirnya pasal 22E untuk menjaga kemandirian/independeni KPU adalah dengan melepaskan unsur partai politik dari penyelenggara pemilu. <br /><br />"Ini didasari pengalaman Pemilu 1999 dimana KPU yang saat itu terdiri dari partai politik gagal menetapkan hasil pemilu," katanya. <br /><br /><strong>Sangat cepat </strong><br /><br />Dilihat dari segi proses, perubahan UU No. 2 Tahun 2008 memang sangat cepat. Sebenarnya hal ini positif karena Komisi II DPR masih memiliki beban legislasi yang cukup berat, mengingat kemungkinan Komisi II akan kembali mebahas Revisi UU penyelenggara pemilu pada Januari 2011 bersama dengan pemerintah. <br /><br />Namun, jika dilihat lebih jeli, proses pembahasan perubahan UU sangat tertutup. Seharusnya proses pembahasan dilakukan terbuka agar masyarakat bisa memberikan aspirasi terhadap revisi UU ini. <br /><br />"Adalah hak masyarakat untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan dalam penyiapan maupun pembahasan UU sebagaimana dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 Namun akses ini terhambat dengan tertutupnya proses pembahasan," katanya. <br /><br />Dari sisi subtansi, draf RUU tentang Parpol belum tampak perubahan yang mampu mendorong reformasi partai politik, yang mengemuka justru hanya syarat pendirian, minimal jumlah rekening, walaupun ada pula sejumlah hal positif yaitu mulai diaturnya soal pertanggungjawaban keuangan bagi dana parpol yang berasal dari APBN/APBD dan alokasinya hanya untuk pendidikan politik. <br /><br />Terkait dengan syarat pendirian partai politik, misalnya, dalam draf yang telah disepakati mensyaratkan partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah di seluruh provinsi. <br /><br />Hal ini berarti 30 dikali 33 provinsi yaitu minimal 990 orang baru bisa mendirikan partai politik baru. Ketentuan ini jelas akan menghambat munculnya partai baru. Lebih daripada itu, ketentuan tersebut akan menghalangi hak warga negara untuk mendirikan partai politik. <br /><br />"Padahal, mendirikan partai politik merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Secara tegas pasal 28 UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul," katanya. <strong>(phs/Ant)</strong></p>