Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) menyatakan, sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat menggagas alternatif Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang akan diajukan ke DPR pada 2011. <p style="text-align: justify;">"Alternatif tersebut adalah RUU Informasi Strategis Rahasia Keamanan Nasional (Riskan). RUU alternatif ini telah dikembangkan dari pengaturan tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP)," kata Direktur IDSPS, Mufti Makaarim, dalam diskusi "Pengalaman Wikileaks, Masih Relevankah Rahasia Negara" di Jakarta, Kamis (23/12/2010). <br /><br />Menurut dia, RUU informasi strategis tersebut melanjutkan dan mendetailkan jenis-jenis informasi yang dikecualikan dalam pasal 17 UU KIP, seperti informasi yang menyangkut kebijakan pemerintah, keamanan dan intelijen. <br /><br />"Definisi pengecualian informasi publik tidak spesifik dan cukup luas," katanya. <br /><br />Mufti menilai, draf RUU Rahasia Negara yang masih berada di Kementerian Pertahanan (Kemhan) masih perlu pembahasan yang lebih detail karena bisa mengancam kebebasan pers dan kebebasan informasi publik. <br /><br />RUU alternatif itu telah diselaraskan dengan prinsip internasional dalam pengaturan tentang rahasia negara seperti "Johanesburg Principle dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)". <br /><br />"RUU yang digagas ini juga mempertimbangkan "best practices" UU rahasia negara di negara lain yang sangat memperhatikan kepentingan publik. RUU alternatif ini akan diajukan ke DPR pada Maret 2011 saat pembahasan RUU rahasia negara mulai dilakukan," katanya. <br /><br />Keberadaan RUU alternatif, lanjut Mufti, juga memperhatikan fenomena terbaru pembocoran informasi oleh Wikileaks dan terbukanya dokumen Satgas Ban-5 Kopassus, Pos I Kotaraja, Papua ke publik pada November 2010. <br /><br />"Pembocoran yang dilakukan Wikileaks merupakan permulaan. Ke depan, sangat mungkin dengan alasan kepentingan publik ada pihak-pihak yang membocorkan informasi yang dikategorikan rahasia negara. Kalau pemerintah dan DPR tetap memilih mengesahkan RUU rahasia negara yang bersifat otoriter, maka kemungkinan pembocoran informasi oleh "wistleblower" dengan menggunakan kemajuan teknologi akan tetap ada," katanya. <br /><br />Oleh karena itu, kata dia, pengaturan tentang rahasia negara harus secara tegas mengatur terbatas pada informasi rahasia yang benar-benar menyangkut kepentingan publik atau rahasia negara murni, bukan rahasia politik atau rahasia jabatan. <br /><br />Ia mengimbau agar pemerintah lebih transparan dan proaktif membuka saluran informasi publik. <br /><br />"Lebih baik membangun argumen saat informasi dibuka sendiri oleh pemerintah dari pada defensif ketika informasi dibuka pihak lain, terutama pihak internasional," katanya seraya menambahkan draf RUU alternatif ini masih memerlukan masukan dari masyarakat. <br /><br />Di tempat yang sama, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, RUU rahasia negara yang tengah dibahas oleh Kemhan masih cukup luas definisi tentang rahasia negara dan sangat represif terhadap media dalam menyebarkan informasi. <br /><br />"Padahal media merupakan pilar keempat dalam demokrasi. Bagaimana bisa, pilar keempat dalam demokrasi bisa dikekang," katanya. <br /><br />Ia berharap masyarakat dan media massa untuk konsen terhadap pembahasan RUU rahasia negara yang nantinya akan diajukan ke DPR pada 2011 nanti. <br /><br />Akademisi yang menggagas RUU alternatif tersebut, antara lain, M Fajrul Falaakh (KHN), Jaleswari Pramodhawardani (LIPI), Al `Araf (Imparsial), Sri Yunanto (FISIP UI), Rizal Darmaputra (Lesperssi) dan Haris Azhar (Kontras). <strong>(phs/Ant)</strong></p>