Presiden Majelis Adat Dayak Nasional, Agustin Teras Narang, mengatakan, sidang adat yang dilaksanakan terhadap guru besar Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola, tetap digelar taggal 22 Januari 2011. <p style="text-align: justify;">"Sidang Adat Dayak menghadirkan Thamrin Amal Tamagola, sesuai dengan jadwal dilaksanakan tanggal 22 Januari, bertempat di Betang Tingang Manderang," kata Agustin Teras Narang di Palangka Raya, Rabu.<br /><br />Menurutnya, sebelum persidangan dimulai pada pukul 10:00 WIB, Thamrin Amal Tamagola terlebih dahulu melakukan jumpa pers terkait permohonan maafnya kepada masyarakat adat Dayak secara nasional.<br /><br />"Permintaan maaf yang disampaikan pada masyarakat adat Dayak tersebut, merupakan rasa penyesalannya atas pernyataan yang telah menyakitkan perasaan banyak orang," ujarnya.<br /><br />Dia mengatakan, setelah selesai melakukan jumpa pers, maka tepat pukul 10:00 WIB, Thamrin mengikuti persidangan yang dinamakan dalam bahasa Tetek Tatum Dayak, Maniring dan Manetes Tinting Bunu.<br /><br />"Sidang Adat Maniring dan Manetes Tinting Bunu, tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia, karena merupakan bahasa baku dari bahasa Tetek Tatum Dayak," katanya.<br /><br />Dia menjelaskan, pelaksanaan sidang adat tersebut dilaksanakan tim enam, terdiri dari Lukas Tingkes, Sabran Akhmd, Mina Lawit, Siun Jarias, dan Martin Ludjen dan menghadirkan enam orang hakim adat.<br /><br />"Enam orang hakim adat ini berasal dari Kalteng berjumlah empat orang, Kalsel, Kalbar, dan Kaltim masing-masing satu orang. Hakim Adat inilah yang nantinya memutuskan pasal apa saja yang dikenakan pada Thamrin Amal Tamagola nantinya pada persidangan," tegasnya.<br /><br />Sosiolog Universitas Indonesia itu akan disidang Adat karena pernyataannya saat menjadi saksi dalam persidangan kasus video porno yang melibatkan mantan vokalis grup musik Peterpan, Ariel.<br /><br />Thamrin mengatakan, contoh masyarakat yang tidak resah terhadap video tersebut adalah masyarakat suku Dayak, sejumlah masyarakat Bali, Mentawai, dan masyarakat Papua.<br /><br />Dia mengatakan, "Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks."<strong> (Rep)</strong></p>